Liputan6.com, Jakarta Pendiri Stanford University Forgiveness Projects, Fred Luskin, puluhan tahun meneliti kaitan antara memaafkan dan kesehatan. Ia menjelaskan, mengingat kembali luka masa lalu dapat memicu keluarnya hormon stres yang berdampak negatif bagi tubuh.
“Ketika kamu sering mengingatnya, kamu membuat tubuhmu stres secara kronis. Itu ada efek samping fisiknya,” kata Luskin.
Dilansir dari Stanford Medicine, proses memaafkan tidak berarti membenarkan perilaku buruk orang lain. Justru, hal itu adalah cara untuk berdamai dan melindungi diri sendiri dari kesedihan yang berlarut.
“Kamu tidak membuat alasan untuk perilaku itu. Kamu hanya menerimanya dan berdamai. Itu sangat berbeda,” ujarnya.
Studi menunjukkan, kebiasaan menyimpan dendam dapat memperburuk kesehatan emosional dan fisik. Dalam jangka panjang, hal ini juga bisa mengganggu hubungan jangka panjang seperti pernikahan, persahabatan, dan kerja sama bisnis.
Luskin menjelaskan, hampir semua hubungan dalam hidup memerlukan proses memaafkan agar bisa bertahan.
“Orang tidak bisa digantikan. Hampir setiap hubungan yang pernah kamu jalani membutuhkan sedikit pengampunan untuk bisa bertahan,” katanya.