Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, anak perempuan pertama sering dianggap sosok yang kuat, mandiri, dan bisa diandalkan. Namun, di balik citra itu, banyak yang menyimpan luka batin akibat tuntutan untuk selalu sempurna.
Fenomena ini dikenal sebagai Sindrom Anak Perempuan Pertama atau Eldest Daughter Syndrome, yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial seperti TikTok.
Istilah ini menggambarkan tekanan emosional dan tanggung jawab berlebih yang kerap dibebankan kepada anak perempuan tertua dalam keluarga. Mereka sering kali menjadi 'tangan kanan' orang tua, pengganti peran orang tua bagi adik-adiknya, bahkan penyembuh emosional di rumah.
Menurut terapis pernikahan dan keluarga berlisensi sekaligus penulis Traumatized: Identify, Understand, and Cope with PTSD and Emotional Stress, Kati Morton, anak perempuan pertama biasanya dibesarkan dengan beban tanggung jawab lebih besar dibanding saudara lainnya.
"Anak perempuan tertua dalam sebuah keluarga seringkali lebih banyak mengurus pekerjaan rumah tangga, bahkan beban emosional saudara-saudaranya, dan dapat mendapati diri mereka dalam peran sebagai orang tua," ujar Morton, dikutip dari Women’s Health.
Tekanan untuk Selalu Jadi Contoh
Psikolog klinis asal New York City, Marianna Strongin menyebut bahwa urutan kelahiran memang dapat memengaruhi pola asuh dan pembentukan karakter anak. Orang tua baru umumnya lebih protektif dan menaruh ekspektasi tinggi terhadap anak sulung mereka.
"Orang tua cenderung meminta anak pertama untuk menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya dan berperilaku sempurna," ujar Strongin. Menurutnya, tekanan ini dapat membuat anak pertama tumbuh menjadi sosok yang perfeksionis, mudah cemas, dan sulit menolak tanggung jawab baru meskipun sudah merasa kewalahan.
Selain itu, ekspektasi sosial juga memperkuat tekanan ini. Anak perempuan pertama sering dianggap 'harus bisa segalanya'. Mulai dari berprestasi di sekolah, menjaga keluarga, hingga menjadi panutan bagi orang lain.
"Ada banyak tekanan yang diberikan kepada Anda untuk menjadi sangat sukses, atau menghasilkan banyak uang, atau berprestasi di sekolah," tambah Morton.
Ciri dan Dampak Sindrom Anak Perempuan Pertama
Meski bukan diagnosis medis, para ahli menyebut sindrom ini bisa memengaruhi kesejahteraan mental seseorang hingga dewasa. Beberapa tanda umum yang sering muncul antara lain:
- Merasa terlalu bertanggung jawab terhadap orang lain.
- Sulit menetapkan batasan pribadi.
- Cenderung menyenangkan orang lain dan sulit berkata tidak.
- Mudah merasa bersalah atau takut mengecewakan orang.
- Memiliki kecemasan tinggi dan kebutuhan akan validasi eksternal.
Morton menjelaskan bahwa tekanan menjadi “sempurna” sejak kecil dapat membuat anak sulung perempuan kesulitan menempatkan diri ketika dewasa.
"Saat mereka tumbuh dewasa, mereka mungkin sulit menentukan apa yang mereka inginkan atau mendahulukan diri sendiri," kata Morton.
Strongin, menambahkan, kebiasaan untuk selalu memprioritaskan orang lain bisa membuat anak sulung merasa lelah secara emosional.
Mereka terbiasa menjadi penolong, tapi lupa menjaga diri sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu stres kronis, kelelahan emosional, dan bahkan depresi ringan.
Dinamika Hubungan dan Pola Dewasa
Menariknya, Morton menemukan bahwa anak perempuan pertama sering kali merasa nyaman menjalin hubungan, baik pertemanan maupun romansa, dengan sosok yang memiliki karakter seperti anak bungsu.
Menurutnya, dinamika ini terasa akrab karena anak sulung terbiasa mengasuh, sedangkan anak bungsu terbiasa dirawat. Hubungan seperti ini menciptakan keseimbangan emosional yang 'terasa alami' bagi keduanya.
Namun, Morton menekankan pentingnya kesadaran diri agar anak sulung tidak terus mengulang pola yang sama dalam setiap hubungan. "Sulit bagi mereka untuk mengatakan tidak ketika tidak punya waktu atau energi," ujarnya.
Belajar Melepaskan Tekanan
Untuk keluar dari tekanan sindrom ini, para ahli menyarankan agar anak perempuan pertama mulai belajar menyeimbangkan tanggung jawab dengan kebutuhan diri sendiri.
Menetapkan batasan, belajar berkata 'tidak', dan menyadari bahwa kesempurnaan bukan ukuran nilai diri adalah langkah awal yang penting.
Strongin, menegaskan,"Tidak apa-apa jika tidak selalu menjadi panutan atau penolong. Terkadang, menjadi diri sendiri sudah cukup."
...